Selasa, 13 April 2010

Sistem Pemerintahan

SISTEM PEMERINTAHAN ADALAH JATI DIRI BANGSA

Teori Sistem Pemerintahan
Sejak abad pertengahan para ahli politik sudah telah berusaha menyusun
klasifikasi bentuk-bentuk pemerintahan demokratis, tapi baru sebatas diskursus tentang
sistem parlementer dan sistem presidensial. Dalam bukunya yang amat berpengaruh „The
Analysis of Political Systems“, Verney (Routledge & Kegan Paul, 1979), menguraikan
dua sistem pemerintahan yang paling popular dan paling banyak digunakan di negaranegara
konstusional demokratis. Dalam diskursus ilmiah tentang sistem pemerintahan
Inggeris selalu dipandang sebagai contoh pemerintahan parlementer, dan Amerika Serikat
sebagai model pemerintahan presidensial. Duverger (EJPR, 8/2, Juni 1980) kemudian
memperkenalkan bentuk pemerintahan ketiga, Sistem semipresidensial, dan Blondel
(Kavanagh dan Peele, Eds., London, Heinemann, Boulder, 1984) memperkenalkan sistem
semipresidensial ganda (semi-presidential dualist system).

Sistem parlementer.
Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggeris tidak mengenal pemisahan
kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Pada abad XVI sebagai reaksi
terhadap kekuasaan Raja James I yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan
parlementer diawali dengan berdirinya lembaga perwakilan rakyat (assembly) yang
secara bertahap mengambil alih kekuasaan legislatif dari tangan Raja. Tetapi,
kekuasaan eksekutif tetap berada pada Raja. Dalam perkembangan selanjutnya,
kekuasaan eksekutif Raja mulai diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat
dari antara anggota-anggota badan perwakilan. Karena para menteri harus
betanggunjawab kepada badan perwakilan, lambat laun kekuasaan badan
perwakilan bertambah besar dan ditetapkan sebagai pemegang kedaulatan negara.
Para menteri secara kolektif, atau Kabinet, harus betanggungjawab kepada badan
legislatif dan adalah bagian dari badan tersebut. Karena itu dalam sistem
parlementer tidak ada seperation of power, tetapi yang ada adalah fusion of power
antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif. Dengan kata lain, sistem
parlementer adalah sistem politik yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemengang kedaulatan rakyat yang
bernama Parlemen.
Pada sistem parlementer cabang eksekutif dipimpin oleh Kepala Negara,
seorang Raja dalam negara monarki konstitusional atau seorang Presiden dalam
republik, dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Pemerintahan
ditunjuk oleh Kepala Negara dan para menteri diangkat oleh Kepala Negara atas
usul Kepala Pemerintahan, Kabinet, yang terdiri dari Perdana Menteri dan para
menteri, adalah lembaga kolektif, karena perdana menteri adalah orang yang
pertama dari sesama (primus inter pares) sehingga tidak dapat memberhentikan
seorang menteri. Tapi dalam kenyataannya perdana menteri selalu memilki
kekuasaan yang lebih besar dari para menteri.
Perdana menteri dan para menteri biasanya adalah anggota parlemen dan
secara kolektif bertanggungjawab kepada badan legislatif. Pemerintah atau kabinet
secara politis bertanggungjawab kepada parlemen. Untuk menghindarkan
kekuasaan legislatif yang terlalu besar atau diktatorial partai karena mayoritas partai
yang terlalu besar, kepala pemerintahan dapat mengajukan usul kepada kepala
negara untuk membubarkan parlemen. Salah satu karakteristik utama sistem
parlementer yang tidak dimiliki oleh sistem presidensial adalah kedudukan
parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas badan perwakilan dan
pemerintah (supremacy of parliament). Dalam sistem parlementer pemerintah tidak
berada diatas badan perwakilan, dan sebaliknya badan perwakilan tidak lebih tinggi
dari pemerintah.
Karena perdana menteri dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh
rakyat, pemerintah parlementer hanya bertanggungjawab secara tidak langsung
kepada pemilih. Karena itu, dalam pemerintahan parlementer tidak dikenal
hubungan langsung antara rakyat dengan pemerintah. Hubungan itu hanya
dilakukan melalui wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat.
Parlemen sebagaipemegang kekuasaan tertinggi yang merupakan pusat
kekuasaan dalam sistem politik harus selalu mengusahakan agar tercapai dinamika
hubungan politik yang seimbang antara badan legislatif dan badan eksekutif. Dalam
parlemen ini lah kader-kader pimpinan bangsa digembleng sebelum suatu hari
mendapat kesempatan menjadi pemimpin negara.

Sistem presidensial
Diskusi tentang pemerintahan presidensial biasanya tidak selalu dikaitkan
dengan teori pemisahan keuasaan (seperation of powers) yang amat populer pada
abad XVIII ketika Konstitusi Amerika Serikat disusun. Dua ahli politik yang amat
berpengaruh pada masa itu adalah John Locke yang terkenal dengan pandangannya
bahwa konflik berkepanjangan antara raja Inggeris dengan parlemen adalah dengan
memisahkan secara tegas raja sebagai kekuasaan eksekutif dengan badan
perwakilan sebagai kekuasaan legislatif. Kedua kekuasaan itu harus dipisahkan
dengan tegas dan masing-masing mempunyai bidang kekuasaan masing-masing.
Montesquieu, seorang pengamat sistem pemerintahan Inggeris asal Prancis, ternyata
membuat kesimpulan yang salah, dan menyimpulkan bahwa sistem parlementer
Inggeris adalah amat baik karena memisahkan kekuasaan negara menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan seperti itulah yang disebutnya trias
politica, yang selama 2 abad masih dipandang sebagai bentuk pemisahan kekuasaan
yang paling baik dan benar. Trias politica ini digunakan oleh Panja Amandemen
UUD 1945 yang dibentuk MPR sebagai landasan teoritis ketika melakukan
perubahan terhadap sistem pemerntahan negara Indonesia sebagaimana ditetapkan
pada Pasal 1 ayat (2).
Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan didorong oleh keinginan yang
kuat untuk menentang sistem parlementer yang dipandang sebagai budaya negara
kolonial Inggris, sistem presidensial Amerika memisahkan secara tegas tiga cabang
kekuasaan. Karena itu karakteristik pertama sistem presidensial adalah badan
perwakilan tidak memiliki supremacy of parliament karena lem baga tersebut bukan
lembaga pemegang kekuasaan negara.
Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara
langsung atau melalui perwakilan, untuk masa kerja tertentu, dan presiden
memengang sekaligus jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagai
kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri negara, yang berfungsi sebagai pembantu
presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing. Dalam
sistem presidensial, kabinet tidak bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap
menteri bertanggungjawab secara individual kepada presiden.
Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak boleh merangkap
jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh merangkap
menjadi anggota badan legislatif. Namun, pemisahan personala cabang eksekutif
dan legislatif tidak selalu diterapkan disemua negara yang menggunakan sistem
presidensial. Di beberapa negara menteri diangkat sebagai anggota parlemen. Pada
pemerintahan Orde Baru, para anggota Kabinet juga adalah anggota MPR, lembaga
pemegang kedaulatan negara yang lebih kurang sama dengan parlemen dalam
sistem parlementer.
Presiden bertanggungjawab bukan kepada pemilih, tetapi kepada Konstitusi.
Dia dapat di-impeach apabila melangar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan
karena tidak dapat memenuhi janjinya pada kampanye pemilu. Presiden dan badan
perwakilan rakyat mempunyai kedudukan yang setara, karena itu tidak dapat
salaing menjatuhkan. Dalam bahasa UUD 1945, Presiden adalah „neben“ bukan
„geordenet“ dari DPR, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan.
Dalam teori, sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu
cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan,
legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya
sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the
constitution. Cuma, dalam praktek, legislatiflah yang nyatanya memegang
kekuasaan lebih tinggi.

Sistem semipresidensial
Sistem semi-presidensial adalah bentuk pemrintahan negara yang mencoba
mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer mau pun sistem presidensial.
Kelemahan pokok sistem parlementer ialah sifatnya yang sangat tidak stabil karena
setiap saat pemerintah, baik seluruh kabinet mau pun setiap menteri, dapat
menerima mosi tidak percaya dari parlemen. Akibatnya pemerintah jatuh dan terjadi
pergantian pemerintah. Selama 4 tahun menggunakan sistem parlementer, Indonesia
mengalami pergantian pemerintah sebanyak 33 kali (Feith, 1962).
Sistem presidensial mengandung kecenderungan konflik permanen antara
cabang legislatif dan cabang eksekutif, terutama bila presiden terpilih tidak
didukung oleh partai mayoritas yang berkuasa di parlemen. Padahal negara-negara
baru yang tradisi demokrasinya belum terkonsolidasi dengan mantap selalu
menghadapi kondisi seperti ini. Selain itu, kekuasaan yang besar ditangan presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tunggal, selalu menggoda presiden untuk
memperpajang masa jabatannya, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan
otoriter. Ekses seperti itu dialami oleh banyak negara di Amerika Latin, Afrika dan
Asia termasuk Indonesia yang menggunakan sistem presidensial.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan edua sistem tersebut, pada awal Abad
20 berkembang model ketiga sistem pemerintahan yang oleh Duverger disebut
sistem semi-presidensial. Sistem politik ketiga ini memiliki beberapa karakteristik
sistem parlementer dan sistem presidensial. Ciri utama sistem semipresidensial
adalah sebagai berikut: (a) pusat kekuasaan berada pada suatu majelis perwakilan
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi; (b) penyelenggara kekuasaan legislatif
adalah suatu badan perwakilan yang merupakan bagian dari majjelis perwakilan; (c)
presiden dipilih secara langsung atau tidak langsung untuk masa jabatan tertentu
dan bertanggungjawab kepada majlelis perwakilan; (d) para menteri adalah
pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Kalau kita perhatikan uraian yang diberikan oleh Dr. Sukiman pada rapat
BPUPK pada tanggal 15 Juli 1945 dan keteranga Prof. Soepomo pada rapat PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 beberapa saat menjelang pengesahan UUD 1945, jelas
sekali sistem pemerintahan negara Indonesia yang diikuti oleh UUD pertama
Indonesia tersebut adalah sistem semipresidensial. Menurut Blondel, pada
pertengahan 1940-an, hanya ada 6 negara baru merdeka yang menggunakan sistem
semipresidensial ganda – yang memiliki presiden sebagai kepala negara dan
perdana menteri atau menteri pertama sebagai kepala pemerintahan - yakni
Finlandia, Lebanon, Siria, Peru, Indonesia, dan Korea Selatan. Sekarang model
tersebut semakin populer dan digunakan di banyak negara, karena dipandang
sebagai bentuk pemerintahan demokratis yang lebih stabil dan lebih efektif di
negara yang memiliki multi partai politik.
Di negara-negara Amerika Latin, diterapkan model semipresidensial yang
mempunyai lebih banyak karakteristik sistem parlementer seperti: (a) para menteri
dapat menghadiri sidang parlemen; (b) parlemen melakukan impeachment atau
memberi mosi tidak percaya kepada menteri atau kabinet; atau (c) perdana menteri
diangkat dari dan oleh parlemen. Kantor (Dalam DiBacco, ed., New York, Praeger,
1977) memperkenalkan varian sistem pemerintahan keempat, yang lebih banyak
mengandung ciri-ciri sistem parlementer, kecuali ada pemisahan kekuasaan dan
kepala negara yang terpilih untuk masa bakti tertentu, dan menamakannya sistem
semi-parlementer atau quasi parlementer.
Negara Kekeluargaan
Pembentukan negara-negara moderen tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya
dua faham atau mazhab pemikiran tentang hubungan negara dengan warga negara.
Penindasan para raja – yang seringkali mempersonfikasikan diri sebagai negara, l’etat
c’est moi -- selama berabad-abad di Eropah telah mendorong kelahiran Gerakan
Renaissance, yang memberikan pengakuan hak individu dari setiap warganegara. Faham
individualisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke. Jean Jacques
Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, telah mewarnai seluruh aspek kehidupan
bangsa-bangsa Barat dan menjadi nilai dasar dari sistem politik demokrasi yang
berkembang, setelah bangsa-bangsa tersebut mengalami penindasan oleh para penguasa
absolut dalam negara monarki absolut. Menurut faham individualisme, negara ialah
masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam
masyarakat (social contract).
Aliran kedua adalah faham kolektivisme, yang tidak mengakui hak-hak
dan kebebasan individu, beranggapan persatuan yang dilandaskan pada ikatan kesamaan
ideologi atau keunggulan ras sebagai dasar dalam penyusunan negara yang terdiri atas
pimpinan atau partai sebagai suprastruktur dan masyarakat madani sebagai struktur.
Faham kolektivisma kemudian cenderung berkembang menjadi pemerintah diktator
totaliter seperti dialami bangsa Jerman di bawah Hitler, Uni Soviet di bawah
pemerintahan komunis, Italia di bawah Mussolini, dan RRC di bawah pimpinan Mao Zedong.
Faham kolektivisme mempunyai beberapa cabang pemikiran, diantaranya yang
dikenal sebagai teori kelas (class theory) yang dikembangkan oleh Marx, Engels dan
Lenin. Negara dianggap sebagai alat oleh suatu kelas untuk menindas kelas yang lain.
Negara ialah alat golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat untuk menindas
golongan atau kelas ekonomi lemah. Negara kapitalistik adalah alat golongan bourgeoisi
untuk menindas kaum buruh, oleh karena itu para Marxis menganjurkan revolusi politik
kaum buruh dan kelompok tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan negara dan
menggantikan kaum bourgeoisi. Cabang yang lain adalah seperti yang diajarkan oleh
Spinoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik.
Menurut pandangan teori ini, negara didirikan buknalaah untuk menjamin kepentingan
individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu
kesatuan. Negara adalah suatu masyarkat yang integral, segala golongan, bagian dan
anggotanya satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan masyarakat yang organis Yang
terpenting dalam kehidupan bernegara menurut teori integral adalah kehidupan dan
kesejahteraan bangsa seluruhnya.
Harus kita fahami, gerakan kemerdekaan Indonesia memandang faham
individualisme yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Barat adalah sumber dari kapitalisme,
kolonialisme/imprealisme yang mereka tentang habis-habisan. Para founding fathers
nampaknya mempunyai interpretasi yang berbeda tentang faham kekeluargaan. Bung
Karno yang menangkap kekeluargaan bangsa Indonesia lebih dari dinamika dan
1 Uraian lengkap tentang konsep Negara Kekeluargaan dapat dibaca dalam tulisan Dr. Bur Rsuanto,
“Negara Kekeluargaan: Soepomo vs Hatta” dalam Kompas, 1999.
6
semangatnya. Hatta memaknai kekeluargaan secara etis. Sedangkan Prof. Soepomo
menafsirkan kekeluargaan lebih sebagai konsep organis-biologis. Hampiran metateoretikal
yang berbeda tersebut menghasilkan interpretasi yang berbeda pula tentang
konsep kekeluargaan. Bung Karno menginterpretasikan kekeluargaan sebagai semangat
gotong royong, Bung Hatta memandang kekeluargaan secara etis sebagai interaksi sosial
dan kegiatan produksi dalam kehidupan desa, yang bersifat tolong menolong antar
sesama.
Dasar dan bentuk susunan susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat
dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa. Karena itulah setiap negara
membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik,
hukum dan struktur sosialnya. Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat
BPUPK tanggal 31 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indnesia
yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik,
negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongangolongannya
dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998: 55). Dalam negara yang
integralistik tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia,
menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib
memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya. Inilah
interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara
pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut
oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong.
Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara
Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga.
Hatta, berbeda dengan Sukarno dan Soepomo, menerjemahkan faham
kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan Indonesia. Intinya
adalah semangat tolong menolong atau gotong royong. Karena itu dalam pemikiran
Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik
bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme a la
Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama.
Jadi, kolektivisme oleh Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat
produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan
Bintang, 138-144).
Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara
Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura, suatu forum untuk
musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest,
suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan
dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah
konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen
(Rasuanto, Kompas, 1999). Pada negara moderen, lembaga syura ditransformasikan
menjadi majelis permusyawaratan rakyat dan badan perwakilan rakyat, tradisi massa
protest merupakan landasan bagi kebebasan hak berserikat, hak berkumpul, dan hak
menyatakan pendapat, dan kolektivisme diwujudkan dalam bentuk ekonomi nasional
yang berasaskan kekeluargaan, dalam bentuk koperasi serta tanggungjawab pemerintah
dalam menciptakan keadilan dalam kegiatan ekonomi rakyat.
Dalam perkembangan negara kekeluargaan tersebut, Hatta telah memprediksikan
akan terjadinya tarikan kearah semangat individualisme yang semakin kuat dalam segala
7
kehidupan rakyat, khususnya dalam ekonomi. Individualisme, menurut Hatta, jangan
dilawan dengan kembali ke kolektivisma tua, melainkan dengan “mendudukkan cita-cita
kolektivisma itu pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen, yang lebih efektif dari
individualisme“ (Hatta, Demokrasi Ekonomi, UI Press, 192, 147).
Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei - 1 Juli dan dari 10 - 17 Juli 1945,
dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18-22 Agusutus
1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar
negara (Setneg, 1998: 7-147). Bung Karno, bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga
tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corak
hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi
kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.
Sistem “Pemerintahan Sendiri”
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem
pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut
ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan
dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem
presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam
Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi
tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni
legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica
oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa
kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial
para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab
kepada Presiden.
Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar
baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa ini semakin dekat
dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang
demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara? Apakah sistem
pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para perancang konstitusi
seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin kelangsungan kehidupan
bernegara bangsa Indonesia?
Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang
sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang
Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapatrapat
BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat
pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita
dapat menyelami kedalaman pandangan para founding fathers tentang sistem
pemerintahan negara.
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan
kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum
8
U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan
Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran
bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para
perancang Konstitusi Indonesia.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945
memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa
tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis,
Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil
kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la
Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya
Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan
lagi di negara Eropah Barat.
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai
kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer
seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem
tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang
legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya
adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru
merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial
mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat
kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga,
cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan
dengan semangat dbemokrasi.
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan
Dr. Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil
BPUPK. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan
sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial,
Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem
MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem
presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD
1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem
sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan
eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif
tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta
para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden,
adalah ciri dari sistem presidensial. Sistem pemerintahan khas Indonesia juga
mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus
of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen
dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR
sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para
perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih
belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur
9
pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih
secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR,
sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif
(legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak
dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undangundang.
.
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18
Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh
rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat
kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR,
wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain,
MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih
sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin
pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung
Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan
negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang
tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau
assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif
tertinggi, sebagai mandataris MPR.
Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para
Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari
keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bikameral
dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi
fungsinya sebaga lwmbaga permusyawaratan perwakilan.
Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem
pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan
amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan
sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi
tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen
otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan
penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang
mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya
politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan,
MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan
eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan
legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan
eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan
Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun
presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem
parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara
berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
10
Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para
perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik,
serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial.
Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung
secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan
bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif
kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial
kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI
menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem
pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan
ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian
besar negara-negara di dunia.
Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus
1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang
sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi:
“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini.
Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang
dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling
tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang
menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden
dan Wakil Presiden.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara ...
Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah
ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama
dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan
legislatif ... „
Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan
pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada
sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila
presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para
penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem
semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem
semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal
dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala
Pemerintahan.
Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua,
untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasalpasalnya,
tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks
sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satusatunya
cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami
keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum
dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen
UUD 1945 dilakukan.
11
Mobilisasi tuntutan untuk pemurnian UUD 1945
Sekarang semakin jelas bukti-bukti yang menujukkan bahwa amandemen sistem
pemrintahan negara Indonesia yang dilakukan oleh MPR telah meyimpang dari
rancangan asli para perumus konstitusi yang berlandaskan pada kaidah dasar negara
kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat, serta penyelenggaraan demokrasi sosialekonomi
untuk mencapai kesejahteraan social, sebagaimana dicantumkan pada
Pembukaan UUD 1945. Karena itu tujuan reformasi untuk meluruskan dan memurnikan
pelaksanaan UUD 1945 dapat dipastikan tidak akan tercapai bila tidak dilakukan upayaupaya
pemurnian kembali UUD sesuai dengan staats fundamental norm nya yang
semula.
Karena itu salah satu agenda pokok yang perlu dilakukan oleh Presiden terpilih
setelah pelantikan adalah mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan kemurnian
UUD 1945 sesuai dengan kaidah fundamentilnya. Pemurnian UUD 1945 agaknya tidak
mungkin dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 2004 karena MPR yang bi-kameral tersebut
bukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Salah satu langkah konstitusional yang
dapat ditempuh adalah meminta persetujuan rakyat untuk memurnikan UUD 1945
melalui referendum.

Sumber :
http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/DIALOG-KEMBALI-KE-JATI-DIRI-NEGARA-SEMI-PRESIDENSIAL.pdf

Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan.HAM Berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Contoh hak asasi manusia (HAM):
Hak untuk hidup.
Hak untuk memperoleh pendidikan.
Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999) bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta Deklarasi Universal HAM (DUHAM) serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dari pelaksanaan fungsi Komnas HAM sepanjang tahun 2009, dapat dicatat perkembangan strategis kondisi HAM di Indonesia selama tahun 2009, sebagai berikut :
A. Kondisi Umum
UUD 1945 menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) nomor XVII/MPR/1998 dan Pasal 71 dan Pasal 72 UU 39/1999 juga menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Tap MPR No.XVII/MPR/1998 juga menugaskan lembaga-lembaga negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Hak setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya untuk berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM diakui oleh UU 39/1999. Partisipasi ini dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan atau terjadinya Pelanggaran HAM atau lembaga lain yang berwenang, mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan HAM dan atau lembaga lainnya, dan melakukan penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai HAM.
Komnas HAM memberikan apresiasi atas keseriusan pemerintan dalam pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, antara lain dengan dimasukkannya agenda hak asasi manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai tindak lanjut dari penjabaran dari program-program yang disampaikan oleh Presiden pada saat kampanye. Sementara pada tataran regional, khususnya di kawasan Asia Tenggara, kami mencatat adanya kemajuan yang penting. Hal ini antara lain dengan terbentuknya lembaga atau badan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). Dengan lahirnya badan tersebut, diharapkan dapat memberikan peranan yang berarti dalam rangka pemajuan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, kondisi pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia selama 2009 belum mengalami kemajuan signifikan. Kita belum mampu memutus mata rantai impunitas dalam penegakan hak asasi manusia. Hal ini, terlihat antara lain, dengan belum terselesaikannya berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia,  khususnya untuk kasus-kasus yang hasil penyelidikannya telah diselesaikan oleh Komnas HAM dan sudah diserahkan kepada Jaksa Agung. Selain itu, kita gagal memberikan perlindungan yang memadai terhadap perlakuan-perlakuan diskriminasi yang merebak dalam tahun ini.
B. Kondisi Hak Sipil dan Politik
1.    Dengan segala kekurangan yang ada, Komnas HAM mengakui bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2009 secara umum berjalan dengan tertib dan aman. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran dan peran aktif masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif demi terselenggaranya PEMILU dengan aman dan tertib. Hak untuk memilih (right to vote) merupakan salah satu hak fundamental yang dijamin di dalam  berbagai peraturan perundang-undangan antara lain disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, berbagai peraturan nasional, jaminan pertisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilihnya secara universal dan sederajat tanpa adanya diskriminasi, juga diatur di dalam berbagai peraturan hukum internasional. Hal ini antara lain disebutkan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dan Konvensi  Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. Walaupun secara tegas jaminan warga Negara dalam menggunakan hak pilihnya telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, pada kenyataannya dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2009 didapati adanya berbagai bentuk pelanggaran hak sipil dan politik warga Negara, antara lain :
a.    Hilangnya hak konstitusional pemilih warga negara secara massive (25 - 40 persen warga yang kehilangan hak pilihnya) dan sistemik  (kelemahan melekat dalam sistem pendataan penduduk serta kelembagaan pelaksana pemilu-KPU) di seluruh wilayah RI. Sementara itu pada level Kabupaten dan Kota ditemukan pola yang bersifat massive dan sistematis.
b.    Hilangnya hak sipil warga Negara dengan tidak dicatatkannya didalam sistem administrasi kependudukan.
 
c.    Hilangnya hak politik warga Negara dalam bentuk hilangnya hak memilih akibat tidak difasilitasinya pemenuhan hak konstitusional dari kelompok-kelompok rentan (khusus) seperti penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, narapidana/tahanan dan lainnya, serta penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di beberapa tempat seperti di rumah sakit dan tempat-tempat penahanan telah mengakibatkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya;
2.    Komnas HAM menghargai upaya yang serius yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan reformasi di tubuhnya. Komnas HAM menyambut baik lahirnya Peraturan Kapolri No.8/2009 tentang Penerapan Standar-standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian. Tetapi kami juga mencatat masih adanya tindakan yang mengarah pada police abusive, seperti dalam operasi pemberantasan terorisme. Aparat kepolisian kurang memperhatikan hak asasi manusia para tersangka dan anggota keluarganya, sehingga terjadi adanya tindakan kekerasan dan atau pelanggaran terhadap hak atas hidup terhadap para tersangka. Begitu juga dalam menghadapi petty crime, juga sering terjadi salah tangkap dan penggunaan kekerasan di luar keperluan.
3.    Dalam rangka pengungkapan kasus pembunuhan Munir, Komnas HAM mencatat bahwa memang benar proses peradilan mengenai perkara pembunuhan Munir telah dijalankan dalam melakukan penuntutan dan penghukuman atas para pelaku kejahatan. Namun, dari hasil eksaminasi terhadap perkara pembunuhan Munir yang dilakukan Komnas HAM, terlihat kurang pertimbangan hukum yang cukup dalam memutus perkara (onvoldoende gemotiveerd), sehingga dipandang sebagai kelalaian dalam beracara (vormverzuim) yang mengakibatkan kesewenang-wenangan (willekeur) dalam memutus perkara. Bardasarkan pada berbagai pengujian dalam proses peradilan, khususnya terhadap proses persidangan terdakwa yang digelar terkesan melindungi terdakwa dari pertanggungjawaban pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, setelah melakukan analisis terhadap fakta hukum yang diajukan di persidangan, Komnas HAM menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah bukti yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mengadili para pelaku yang seharusnya bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir, sehingga terjadi impunitas.
4.    Digunakannya praktik-praktik kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti penembakan terhadap para petani di Palembang, penembakan terhadap para tersangka tindak pidana kriminal, kekerasan dalam kasus penggusuran, serta berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dilakukan aparat keamanan telah mengakibatkan tidak terlindunginya hak atas rasa aman dan hak untuk bebas dari penyiksaan. Peristiwa ini menunjukkan belum cukup terlindunginya salah satu hak asasi manusia, yakni hak atas rasa aman. Masih kentalnya budaya kekerasan di jajaran kepolisian juga masih tampak kuat. Terakhir kita bisa melihat bagaimana sejarawan alumni UI, JJ Rizal dikeroyok dan dianiaya oleh 5 (lima) anggota polisi.
5.    Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah di mana terdapat jurang yang lebar antara yang landasan normatif dan penegakannya. Seorang nenek yang mencuri tiga buah coklat dihukum oleh pengadilan, sementara penikmat BLBI bebas dari jerat hukum. Selain itu, praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain terutama di tempat-tempat dimana orang dirampas kebebasannya, sementara di tingkat nasional belum tersedia mekanisme nasional yang efektif untuk pencegahan penyiksaan. Selain itu, Komnas HAM juga mengamati sejumlah kasus penyiksaan yang dilakukan pada saat proses penyelidikan dan penyidikan serta adanya rekayasa dalam proses hukum, antara lain kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
6.    Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masih belum ada perkembangan di Kejaksaan Agung. Sampai dengan akhir tahun 2009 ini setidaknya 7 (tujuh) hasil penyelidikan Komnas HAM masih belum ditindaklanjuti Jaksa Agung, yakni peristiwa Penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Kasus Wamena, dan Peristiwa Wasior. Komnas HAM menghargai adanya upaya yang serius dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk penyelesaian peristiwa penghilangan orang secara paksa dengan mengirimkan rekomendasi kepada Presiden untuk pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Akan tetapi sampai dengan akhir 2009, belum ada perkembangan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui Keputusan Presiden.
7.    Tidak terpenuhinya hak sipil sebagian bangsa ini juga masih berlangsung selama 2009. Dapat dicatat, antara lain, tetap belum teratasinya kesulitan bagi pemeluk agama atau penganut kepercayaan di luar agama yang diakui oleh Pemerintah untuk melangsungkan perkawinan dan sekolah. Hal ini dialami oleh pemeluk agama atau kepercayaan seperti Syiah, Baha’i, Ahmadiyah, dan sebagainya.
8.    Pelanggaran hak sipil dan politik dalam pelaksanaan operasi yustisia oleh Pemda DKI masih diteruskan padahal setiap warga negara mempunyai hak untuk bertempat tinggal dan berpindah tempat tinggal. Selain lahirnya banyak Perda yang bertentangan dengan Kovenan Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, antara lain Qanun Jinayah di Aceh, Jum’at Qusyu, Qatam Quran dan lain-lain.
9.    Pelanggaran hak sipil dan politik juga masih mewarnai dan semakin mengental di daerah Papua. Memanasnya situasi politik di Papua telah direspon oleh pemerintah dengan pendekatan represif. Penangkapan, penahanan, dan kekerasan terhadap warga Papua kembali menjadi berita media dalam dan luar negeri. Komnas HAM juga mencatat adanya kekerasan di penjara-penjara Papua, khususnya terhadap tahanan-tahanan politik, seperti antara lain dialami oleh Muhtar Tabuni.
C. Kondisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
1.    Dalam konteks hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak EKOSOB), masih ada pandangan yang melihat hak EKOSOB dianggap bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil, dan terutama sektor bisnis. Hak asasi manusia, terutama hak EKOSOB tidak digunakan sebagai paradigma dalam penyusunan kebijakan pembangunan (rights-based approach). Akibatnya, meskipun berbagai kebijakan pembangunan dibuat, namun hak warga negara tetap tidak terlindungi dan terpenuhi dan korban-korban pelanggaran hak asasi manusia terus menerus berjatuhan, seperti pada kasus-kasus penggusuran, kelaparan, pemutusan hubungan kerja secara massal, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar justru dilindungi dan pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
2.    Persoalan semburan lumpur panas Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sampai dengan akhir 2009 masih saja terjadi sehingga telah mengakibatkan masalah pelik dari aspek teknis dan sosial. Pemerintah kewalahan menghentikan semburan, merelokasi warga yang tempat tinggalnya tergenang lumpur, dan meminta petanggungjawaban PT Lapindo Brantas Inc, sebagai operator eksplorasi sumur Banjar Panji, Sidoarjo. Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo, warga mendapat ganti rugi secara bertahap. Namun penyelesaian ganti rugi dalam bentuk jual beli itu pun masih berlarut-larut dan korban masih belum juga mendapatkan hak-haknya sebagaimana yang telah dijanjikan. Lambannya sikap Pemerintah, ditambah lagi dengan masih dilakukannya negosiasi ulang untuk pembayaran ganti rugi tersebut memperlihatkan bahwa Pemerintah, tidak saja, abai terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak-korban, namun juga lemah dalam berhadapan dengan korporasi. Selain itu, dari hasil pengkajian yang dilakukan Komnas HAM didapati adanya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia dari peristiwa tersebut, akan tetapi pemerintah telah mengabaikan rekomendasi Komnas HAM untuk memulihkan hak-hak para korban yang telah terlanggar.
3.    Tindakan penggusuran yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan tidak terlindunginya hak bertempat tinggal dan berusaha para korban  karena penggusuran itu dilakukan tanpa penyediaan tempat lain untuk bertempat tinggal atau tempat berusaha sebagai penggantinya. Komnas HAM mencatat masih tingginya tindakan penggusuran rumah-rumah dan pemukiman rakyat. Bahkan tindakan-tindakan tersebut didukung dengan legislasi daerah dan anggaran yang cukup besar. Sebagian besar, penggusuran tersebut dilakukan tanpa memberikan solusi nyata kepada rakyat mengenai tempat tinggal yang baru yang semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dan pemukiman bagi rakyat miskin.  
4.    Maraknya kasus-kasus Tenaga Kerja Indonesia yang mengalami penderitaan sebagai akibat korban penyiksaan oleh majikan, perkosaan maupun tindakan keji dan tidak manusiawi lainnya juga menambah catatan kelam tidak seriusnya pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan terhadap para Tenaga Kerja Indonesia, khususnya yang sedang bekerja/berada di luar negeri. Maraknya kasus-kasus ini juga disebabkan oleh adanya dualisme dalam penempatan TKI ke luar negeri, yaitu oleh BNP2TKI dan Depnakertrans. Dualisme ini harus diakhiri.
5.    Berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh, Komnas HAM mencermati bahwa jaminan terhadap hak atas pekerjaan, hak-hak pekerja termasuk di dalamnya untuk mendapatkan upah yang adil, hak-hak untuk berserikat, terhalang oleh dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor: PER.16/MEN/IX/2008, 49/2008, 932.1/M-IND/10/2008, 39/M-DAG/PER/10/2008 Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global. Sesungguhnya, perlindungan negara kepada warganya harus meliputi perlindungan kelompok rentan, yang relatif tidak memiliki kesamaan kedudukan di dalam negara. Membiarkan buruh/pekerja berhadapan langsung dengan pengusaha dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing merupakan pengabaian hak-hak buruh sebagai bagian dari hak asasi yang seharusnya mendapat perlindungan dari Pemerintah, dan hal itu akan berimplikasi langsung pada semakin meluasnya pengangguran.
6.    Krisis global yang melanda dunia juga telah berimbas pada kondisi perekonomian di Indonesia.  Hal ini telah mengakibatkan tidak terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan/atau budaya bagi sebagian besar bangsa ini, terutama yang menyangkut hak atas kesejahteraan. Tetap tingginya jumlah penganggur, sulitnya memperoleh lapangan kerja, tingginya biaya pendidikan yang mengakibatkan tidak terepenuhinya hak atas pendidikan sebagian besar anak bangsa atas haknya atas pendidikan, tetap kurangnya perhatian yang diberikan kepada penderita cacat serta golongan rentan lainnya.
7.    Komnas HAM mengamati secara serius permasalahan kelaparan di Yahokimo dan gizi buruk serta tingginya kematian ibu dan balita yang seperti fenomena gunung es karena jumlah balita (anak usia di bawah lima tahun) yang mengalami gizi buruk lebih dari asumsi yang sudah diperkirakan berbagai pihak, terutama untuk wilayah-wilayah terpencil. Berbagai kasus kurang gizi/gizi buruk dan berbagai masalah di bidang ekonomi, sosial dan budaya diamati juga meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan pokok lainnya. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinann telah dilakukan oleh negara, antara lain melalui Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri). Komnas HAM mencermati bahwa program BLT yang telah dilakukan, alih-alih mengurangi jumlah orang miskin tapi justru membuat orang miskin semakin tergantung dan berharap pada bantuan. Komnas HAM juga mengamati bahwa upaya pengentasan kemisknan tidak dilakukan dengan memastikan terpenuhinya hak-hak eskonomi, sosial, dan budaya.
D.    Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari berbagai perkembangan strategis dalam pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM di Indonesia selama 2009 secara umum dapat diambil simpulan sebagai berikut :
Kondisi hak asasi manusia selama 2009 masih belum banyak berubah dibanding tahun lalu, masih belum mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini antara lain dapat dilihat dengan belum adanya langkah-langkah yang serius dan terencana dengan baik oleh pemerintah untuk pemenuhan hak asasi manusia baik di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya maupun di bidang hak sipil dan politik.
Permasalahan hak asasi manusia di bidang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya antara lain tergambarkan dengan masih maraknya kasus-kasus konflik agraria, perburuhan, penggusuran, kelaparan, buruknya kesehatan, tingginya angka kematian ibu serta masih tingginya angka pengangguran. Tidak ada perlindungan yang memadai terhadap tenaga kerja kita di luar negeri, kegagalan program penanggulangan kemiskinan dan terjadinya pemiskinan.
Permasalahan hak asasi manusia di bidang Hak Sipil dan Politik antara lain tergambarkan dengan masih terjadinya praktik tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta belum adanya keinginan atau political will dari pemerintah untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Impunitas masih belum bisa kita patahkan.
Ketegangan politik di Papua telah memperburuk kondisi baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penangkapan, penahanan, dan penembakan masih terus berlangsung. Begitu pula dengan angka kematian anak karena kekurangan gizi, angka penderita HIV/Aid terus meningkat, dan kelaparan terus terjadi di daerah ini.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, untuk lebih menjamin adanya suatu perubahan yang berkelanjutan bagi kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, maka Komnas HAM merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1.    Komnas HAM mendesak pemerintah dan DPR agar segera meratifikasi berbagai instrumen internasional hak asasi manusia, dengan memberi prioritas pada Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute International Criminal Court), Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol Convention Against Torture), Konvensi Internasional tentang Penyandang Cacat, Konvensi Internasional tentang Pekerja HAM, Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan  Penghilangan Secara Paksa. Dalam rangka untuk memberikan perlindungan yang optimal bagi para Tenaga Kerja Indonesia, pemerintah dan DPR agar segera meratifikasi juga Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families). Dalam kontek ini hendaknya pemerintah segera mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2009 – 2014.
2.    Perlu ditinjau kembali pendekatan hukum yang represif dalam penyelesaian konflik politik di Papua yang diterapkan saat ini. Langkah yang dilakukan sekarang lebih banyak melahirkan kekerasan dan jatuhnya korban. Komnas HAM mendesak perlunya dilakukan langkah-langkah politik daripada hukum dalam penyelesaian konflik di Papua. Langkah dialog atau perundingan sudah harus dipikirkan oleh pemerintah.
3.    Penuntasan berbagai bentuk kasus pelanggaran hak asasi manusia merupakan kewajiban pemerintah, oleh karena itu, Komnas HAM mendesak agar pemerintah secara berkala menginformasikan kepada publik mengenai status perkembangan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang ditangani. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan keyakinan kepada masyarakat tentang tidak adanya kemungkinan untuk menutupi keterlibatan aparatur pemerintah serta menjamin tidak adanya praktik-praktik impunity bagi mereka yang terlibat. Langkah ini juga menjadi penting dalam rangka terus membangun suatu kepercayaan publik terhadap kesungguhan pemerintah untuk melindungi, menegakkan, memajukan dan memenuhi hak asasi manusia.
4.    Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lampau dapat dimaafkan, akan tetapi tidak dapat dilupakan. Penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau merupakan luka-luka yang perlu disembuhkan sehingga bila tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, maka akan menghambat langkah ke masa depan yang lebih baik. Oleh kerena itu, Komnas HAM mendesak agar pemerintah dan DPR dapat dengan segera menuntaskan pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan segera mengundangkannya, sehingga melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut berbagai permasalahan hak asasi manusia di masa lampau dapat diselesaikan dengan baik dan memberikan rasa keadilan bagi para korban maupun keluarga korban.
Akhirnya Komnas HAM mengharapkan perhatian yang sungguh-sungguh oleh Pemerintah dan DPR terhadap pemajuan HAM yang telah ditunjukkan selama 2009 dapat berlanjut di tahun mendatang. Di samping itu, menjadi harapan Komnas HAM pula agar semua lembaga negara, lembaga pemerintah, aparatur negara, dan semua  pihak yang peduli HAM untuk menunjang upaya perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM seluruh bangsa ini bagi terciptanya masyarakat yang demokrasi yang bercirikan supremasi hukum dan penghormatan HAM.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia
http://www.komnasham.go.id/portal/id/content/catatan-akhir-tahun-hak-asasi-manusia-2009

Rabu, 10 Maret 2010

kewarganegaraan

Pengertian negara, bangsa, warga negara dan penduduk.

Dicky triadi / 10208373


NEGARA

merupakan integrasi kekuasaan politik, organisasi pokok kekuatan politik, agency (alat) masyarakat yang memegang kekuasaan mengatur hubungan antarmanusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala kekuasaan di dalamnya. Dengan demikian negara mengintegrasikan dan membimbing berbagai kegiatan sosial penduduknya ke arah tujuan bersama.

Beberapa definisi negara oleh para ahli :

* Benedictus de Spinoza:

Negara adalah susunan masyarakat yang integral (kesatuan) antara semua golongan dan bagian dari seluruh anggota masyarakat (persatuan masyarakat organis).”

* Harold J. Laski:

Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat.

BANGSA

Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan/atau sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asal-usul keturunan yang sama. Konsep bahwa semua manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok bangsa ini merupakan salah satu doktrin paling berpengaruh dalam sejarah. Doktrin ini merupakan doktrin etika dan filsafat, dan merupakan awal dari ideologi nasionalisme.
Sedangkan menurut para ahli bangsa adalah:


Otto Bauer dan Ernest Rinan, menekankan arti bangsa lebih pada kehendak untuk hidup bersama


Guibernau

bangsa adalah negara kebangsaan memiliki unsur-unsur penting pengikat, yaitu: psikologi (sekelompok manusia yang memiliki kesadaran bersama untuk membentuk satu kesatuan masyarakat – adanya kehendak untuk hidup bersama), kebudayaan (merasa menjadi satu bagian dari suatu kebudayaan bersama), teritorial (batas wilayah atau tanah air), sejarah dan masa depan (merasa memiliki sejarah dan perjuangan masa depan yang sama), dan politik (memiliki hak untuk menjalankan pemerintahan sendiri)



WARGA NEGARA

Warga negara merupakan terjemahan kata citizens (bahasa Inggris) yang mempunyai arti ; warga negara, petunjuk dari sebuah kota, sesama warga negara , sesama penduduk, orang setanah air; bawahan atau kaula

Warga mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu organisasi atau perkumpulan. Warga negara artinya warga atau anggota dari organisasi yg bernama negara.



PENDUDUK


Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu

wilayah yang terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dan saling

berinteraksi satu sama lain secara terus menerus / kontinu. Dalam

sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati

wilayah geografi dan ruang tertentu. Penduduk suatu negara atau daerah

bisa didefinisikan menjadi dua:

Orang yang tinggal di daerah tersebut

Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut.

Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal

di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di

daerah lain.

Kepadatan penduduk dihitung dengan membagi jumlah

penduduk dengan luas area dimana mereka tinggal.


sumber:

http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/08/definisi-negara-oleh-para-ahli.html

http://anggi.ngeblogs.com/2009/12/10/pengertian-warga-negara/

http://amalia07.files.wordpress.com/2008/07/pkn1.pdf

Minggu, 10 Januari 2010

Senin, 09 November 2009

SHU KOPERASI

Sisa Hasil Usaha ( SHU ) Koperasi seringkali diartikan keliru oleh pengelola koperasi. SHU Koperasi dianggap sama saja dengan deviden sebuah PT, padahal terminology SHU jelas, bahwa SHU adalah “Sisa” dari Usaha koperasi yang diperoleh setelah kebutuhan anggota terpenuhi
Dalam Manajemen koperasi Sisa hasil usaha (SHU) memang diartikan sebagai selisih dari seluruh pemasukan atau penerimaan total (total revenue [TR]) dengan biaya-biaya atau biaya total (total cost[TC]) dalam satu tahun buku. Bahkan dalam jika ditinjau pengertian SHU dari aspek legalistik, menurut UU No.25/1992, tentang perkoperasian, Bab IX, pasal 45 adalah sebagai berikut:

1. SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
2. SHU setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
3. besarnya pemupukan modal dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
Pengertian diatas harus dipahami bahwa SHU bukan deviden seperti PT tetapi keuntungan usaha yang dibagi sesuai dengan aktifitas ekonomi angoota koperasi, maka besarnya SHU yang diterima oleh setiap anggota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi. Artinya, semakin besar transaksi(usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan perusahaan swasta, dimana dividen yang diperoleh pemilik saham adalah proporsional, sesuai besarnya modal yang dimiliki. Hal ini merupakan salah satu pembeda koperasi dengan badan usaha lainnya.
Penghitungan SHU bagian anggota dapat dilakukan apabila beberapa informasi dasar diketahui sebagai berikut:
1. SHU total kopersi pada satu tahun buku
2. bagian (persentase) SHU anggota
3. total simpanan seluruh anggota
4. total seluruh transaksi usaha ( volume usaha atau omzet) yang bersumber dari anggota
5. jumlah simpanan per anggota
6. omzet atau volume usaha per anggota
7. bagian (persentase) SHU untuk simpanan anggota
8. bagian (persentase) SHU untuk transaksi usaha anggota.


Pembagian yang “ideal” dan biasa dipakai pada koperasi di Indonesia adalah sebagai berikut:


Cadangan : 40 %

SHU KOPERASI Dibagi pada anggota : 40 %

Dana pengurus : 5 %

Dana karyawan : 5 %

Dana Pembangunan Daerah kerja / Pendidikan : 5 %

Dana sosial : 5 %


Persentase penghitungan SHU KOPERASI pun ditentukan pada RAT dan harus dituangkan dalam AD/ART koperasi. Jika anggota menginginkan SHU KOPERASI dibagikan seluruhnyapun tetap boleh, tapi tentu hal ini tidak dianjurkan karena keberadaan dana cadangan dll juga sangat penting untuk keberlangsungan koperasi.

Sesuai janji saya, pada postingan kali ini saya sampaikan cara penghitungan SHU KOPERASI. Secara matematik rumusan penghitungan SHU KOPERASI adalah sebagai berikut:


SHU KOPERASI = Y+ X

Dimana:

SHU KOPERASI : Sisa Hasil Usaha per Anggota

Y : SHU KOPERASI yang dibagi atas Aktivitas Ekonomi

X: SHU KOPERASI yang dibagi atas Modal Usaha

Dengan menggunakan model matematika, SHU KOPERASI per anggota dapat dihitung
sebagai berikut.

SHU KOPERASI= Y+ X


Dengan
SHU KOPERASIAE = Ta/Tk(Y)
SHU KOPERASIMU = Sa/Sk(X)

Dimana.

SHU KOPERASI: Total Sisa Hasil Usaha per Anggota
SHU KOPERASIAE : SHU KOPERASI Aktivitas Ekonomi
SHU KOPERASIMU : SHU KOPERASI Anggota atas Modal Usaha

Y : Jasa Usaha Anggota

X: Jasa Modal Anggota

Ta: Total transaksi Anggota)

Tk : Total transaksi Koperasi

Sa : Jumlah Simpanan Anggota

Sk : Simpana anggota total

Contoh:
SHU KOPERASI Koperasi A setelah Pajak adalah Rp. 1000.000,-

Jika dibagi sesuai prosentase Pembagian SHU KOPERASI koperasi seperti contoh yang disampaiakan sebelumnya maka diperoleh:

Cadangan : 40 % = 40% x Rp.1.000.000,- = Rp. 400.000,-

SHU KOPERASI Dibagi pada anggota : 40 % = 40% x Rp.1.000.000,- = Rp. 400.000,-

Dana pengurus : 5 % = 5% x Rp.1.000.000,- = Rp. 50.000,-

Dana karyawan : 5 % = 5% x Rp.1.000.000,- = Rp. 50.000,-

Dana Pembangunan Daerah kerja / Pendidikan : 5 %= 5% x Rp.1.000.000,- = Rp. 50.000,-

Dana sosial : 5 % = 5% x Rp.1.000.000,- = Rp. 50.000,-

Yang bisa dibagi kepada anggota adalah SHU KOPERASI Dibagi pada anggota : 40 %
Atau dalam contoh diatas senilai Rp.400.000,-

Maka Langkah-langkah pembagian SHU KOPERASI adalah sebagai berikut:

1. Di RAT ditentukan berapa persentasi SHU KOPERASI yang dibagikan untuk aktivitas ekonomi (transaksi anggota) dan berapa prosentase untuk SHU KOPERASI modal usaha (simpanan anggota) prosentase ini tidak dimasukan kedalam AD/ART karena perbandingan antara keduanya sangat mudah berubah tergantung posisi keuangan dan dominasi pengaruh atas usaha koperasi, maka harus diputuskan setiap tahun . Biasanya prosentase SHU KOPERASI yang dibagi atas Aktivitas Ekonomi ( Y) adalah 70% dan prosentase SHU KOPERASI yang dibagi atas Modal Usaha adalah 30%. Jika demikian maka sesuai contoh diatas

Y = 70% x Rp.400.000,-
= Rp. 280.000,-

X= 30% x Rp.400.000,-
= Rp. 120.000,-

2. Hitung Total transaksi tiap anggota, total simpanan tiap anggota dan total transaksi seluruh anggota serta total simpanan seluruh anggota. Sebagi contoh kita akan menghitung SHU KOPERASI Gusbud. Dari data transaksi anggota diketahui Gusbud bertransaksi sebesar Rp. 10.000,- dengan simpanan Rp. 5000,- sedangakan total transaksi seluruh anggota adalah Rp.10.000.000,- dengan total simpanan anggota adalah Rp.2.000.000,-

Maka
SHU KOPERASIAE Gusbud = Rp. 10.000,-/ Rp.10.000.000,-( Rp. 280.000,-)
= Rp. 280,-
SHU KOPERASIMU Gusbud = Rp. 5000,- / Rp.2.000.000,- (Rp. 120.000,-)
= Rp.300,-

3. Selesai

Contoh diatas diasumsikan bahwa 100% transaksi yang masuk ke koperasi adalah transaksi dengan anggota, padahal dalam kenyataanya pasti ada transaksi dengan non anggota